Blogger Jateng

Pilkada 2020 VS Pilkada Serentak 2024

Cacaniar, OPINI - Hai pemirsa, kalian pilih yang mana, setuju dengan pilkada serentak di Tahun 2024 atau Tahun 2020...?. Perhelatan pilkada tinggal beberapa dekade lagi, namun hingga kini, penempatan waktu dilangsungkannya pilkada serentak, masih saja menyimpan polemik yang gak karu-karuan.

Kita semua tahu bahwa persoalan penetapan waktu dilangsungkannya pilkada serentak, haruslah mengacu pada UU Nomor 10 Tahun 2016. Bagi kalian yang belum ngeh dengan UU ini, sekedar informasi UU No 10 Tahun 2016 mengatur tentang perubahan kedua atas undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang penetapan aturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota menjadi Undang-Undang. 

Persepsi dan Polemik Pilkada Serentak 2020 dan 2024 

Pengesahan Undang-Undang ini tentunya menuai banyak polemik sehingga melahirkan banyak persepsi. Namun bagaimana penyelenggara (KPU), menyikapi hal ini. Tentunya sebagai penyelenggara, KPU akan memilih jalan aman dengan memedomani aturan yang sah, yang masih berlaku saat ini, Hal ini pernah amini dan ditegaskan, oleh salah satu komisioner KPU Dewa Wiarsa Raka Sandi di media online CNN Indonesia (02/02/2021)

Undang-Undang nomor 10 Tahun 2016, tentunya akan menjadi acuan pihak penyelenggara, dalam hal ini KPU. Lantas, apakah ada kemungkinan undang-undang ini tidak dijalankan...?. Jika kita menjawab persoalan tersebut secara hirarki, aturan ini dikeluarkan dan disahkan oleh DPR dan telah menjadi UU. Sampai saat ini belum ada aturan baru, yang merevisi Undang-Undang ini. Jadi sudah pasti tidak ada persoalan, jika pilkada nantinya akan dihelatkan di tahun 2024 mendatang secara serentak. 

Sebagai wakil rakyat pembahasan dan penentuan aturan harus menjunjung tinggi kepentingan rakyat. Nah lantas kenapa selalu ada polemik terkait Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Jabannya, semua pihak akan berpersepsi sesuai kepentingan politik yang menguntungkan pihaknya. Namun tidak semua juga akan berpendapat demikian, jika mereka tidak berkepentingan.   

Mari kita lihat pendapat Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago yang dimuat di laman Republika (2/2/2021). Pangi merasa heran dengan sikap pemerintah yang memaksakan pilkada serentak 2024. Padahal efeknya membuat banyak kursi kepala daerah definitif kosong di tengah pandemi Covid-19. Sebagai imbasnya ada sejumlah kursi kepala daerah di 272 wilayah mengalami kekosongan. Berdasarkan pendapat tersebut Pangi menyampaikan tidak adanya demokrasi, disharmoni, disorder. 

Ada juga yang berpendapat lain, partai Golkar yang menarik dukungannya terhadap revisi UU Pemilu. Partai golkar sangat setuju dengan pilkada serentak 2024. Penolakan akan revisi UU ini memiliki alasan yang substansi, bahwa aturan UU sudah megikat dan harus mengacu pada UU tersebut, semua alasan ini tentunya berdasar dan mengakomodir kepentingan partai. Ini dilakukan juga dengan mempelajari RUU pemilu dengan mempertimbangkan situasi pandemi.

Namun apakah benar fakta-fakta diatas ideal untuk menjadi pilihan....? Mari kita lihat dengan perpektif yang berbeda, perspektif ini menurut pandangan atau opini penulis.

Jika kita melihat dari sisi lain demokrasi, pilkada yang terjadi secara reguler justru ada sisi negatifnya. Inkamben yang berkuasa lebih leluasa menggiring kemampuan sumberdaya pemerintahannya, untuk kepentingan pengamanan pemenangan pemilu, dan ini tidak bisa kita nafikkan. 

Bagaimana inkamben memanfaatkan fasilitas pemerintah, mengeksekusi pejabat agar dapat mengakomodir kepentingannya. dan masih banyak lagi lainnya. Jika mutasi jabatan bukan pelanggaran pemilu? Lantas kenapa mutasi paling banyak terjadi di masa-masa mendekati pemilihan. Dengan tindakan represif ini, mutasi akan dinilai memiliki muatan politik. Dan tindakan tersebut benar-benar terjadi, sekalipun penguatan dan pemantauan pelarangan sudah dilakukan secara ketat oleh pihak pengawas pemilu, ini yang harus dicari titik permasalahannya.

Bukan hanya itu, sumberdaya manusia yang dimiliki inkamben di pemerintahan seperti Aparatur Sipil Negara. Bahkan ASN sering dilibatkan untuk mengamankan kepentingan pencalonannya. ASN yang menjunjung dan menghormati kode etik pasti bersikap netral. 

Namun ketika momen pilkada tiba ada saja orang-orang jahil yang tidak berkepentingan, memanfaatkan kondisi tersebut. Tujuannya cuma sederhana, ASN di iming-iming jabatan, materi, dan bahkan ditakut-takuti untuk dimutasi atau dinonjobkan. Sekalipun jarang terjadi, namun ada saja pelanggaran-pelanggaran seperti ini dipraktekkan dibeberapa daerah, sekalipun sifatnya dinilai masih masif dan terselubung.

Dengan alasan-alasan singkat dan rasional tersebut, kami berpendapat sebaiknya pilkada serentak di tahun 2024 tetap dilaksanakan dengan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2024. Mengenai kekosongan jabatan pimpinan daerah ditengah pandemi, itu hanyalah hal teknis, persoalan teknis akan dijalankan oleh bidang teknis di daerah, itu sangatlah mudah tetapi tidak mencederai demokrasi. Bayangkan jika 272 daerah adalah inkamben, tentunya praktek-praktek seperti ini akan dimanfaatkan karena terbuka peluang yang cukup besar. 

Belum lagi jika di tahun 2020 pilkada serentak dilaksanakan, tentunya dengan waktu yang singkat penguatan terhadapa pengawasan pemilu harus dilakukan, namun jika dipaksakan maka akan mengurangi kekuatan atas pengawasan pemilihan nantinya.

Oleh : Deni, SE - Aktivis Maluku.alert-success

1

Posting Komentar untuk "Pilkada 2020 VS Pilkada Serentak 2024"